“Sampai kapan kamu mau kayak gini, Sher? Kenapa sih buat ngucapin tiga kata itu rasanya sulitt banget buat kamu?!” tanya Luna pada Sherril suatu ketika.
“Biar dia tahu dengan sendirinya. Bukan aku, kamu, atau temen kita yang lain ngasih tahu dia. Waktu akan ngebuka kejujuran dibalik ini semua.”
“Tapi kapan Sherr? Apa kamu mau, Dia tahu kamu suka dia di saat terakhir dia liat kamu? Kata dokter, Hidup kamu nggak akan lama lagi kan.”
“Itu lebih baik kan Na, Aku jadi nggak perlu takut akan berurusan sama kakaknya. Aku nggak perlu ngumpet lagi kalo aku ketahuan lagi merhatiin dia. Toh aku nggak nyesel milih keputusan ini.”
“Ya udahlah Sherr, Aku cuma ngasih saran aja. Aku nggak bakal maksa kamu buat bilang ‘Aku Suka Kamu’ ke dia. Cepet sembuh ya Sherr, Aku sama temen-temen yang lain udah pada kangen sama kamu.”
“Mungkin Senin besok aku udah boleh masuk sekolah sama dokter. Doain aja deh apa yang terbaik buat aku.”
“Temen kakak tadi kenapa? Sakit hati ya? Masa baru ditinggal cowok aja udah kayak gitu! Mentalnya kacangan!”
“Ya ampun, Gitu itu sakit banget loh rasanya. Jangan kamu kira sepele Sherr! Mungkin aja kamu bisa ngerasain hal itu nanti.”
“Aku?! Nangis gara-gara cowok kayak temen kakak tadi?! Ih...Nggak banget deh! Makasih! Dan aku nggak punya waktu hanya untuk sekedar curhat sampai nangis kayak gitu.”
“Hust! Nggak boleh gitu! Kualat kamu ntar.”
“Kualat?! Hmm... I don’t care!!”
Percakapan singkat dengan kakaknya itu selalu terlintas di benak Sherril setiap saat. Kalimatnya dua tahun lalu itu, terbukti saat ini. Dia harus membunuh perasaan yang dimilikinya demi keutuhan persahabatannya. Apa yang bisa dikatakan Sherril saat itu tidak bisa ia wujudkan dalam kehidupan nyata. Ia selalu menangis untuk mertapi nasibnya. Malah lebih parah daripada teman kakaknya.
Ia hanya bisa menitikkan air mata melihat orang yang sangat disayanginya ternyata menyayangi orang lain. Dan orang lain itu sahabatnya. Prinsip yang selalu dipegang Sherril untuk selalu mengalah demi kepentingan orang lain tidak begitu saja enyah karena tabiat egois yang dimiliki setiap manusia. Meski ia sadar, hatinya sakit melihat orang yang disayanginya bahagia dengan orang lain, bukan bersama dirinya, Sherril tegar menjalaninya, di tengah penyakit kronis yang ia hadapi.
Mungkin bukan karena itu saja Sherril merasa dirinya tidak pantas merasakan kasih sayang yang dimilikinya terbalas. Sirosis hati yang dideritanya sekian lama semakin memperparah keadaan. Anjuran dokter untuk membawa dirinya untuk selalu menikmati sisa hidupnya mungkin tidak akan terjadi. Karena di sela-sela kehidupan menjelang ajalnya, Sherril justru harus terluka melihat kenyataan yang ada.
“Hei, Lagi ngelamun nih.” suatu suara dari belakang mengejutkan Sherril. Ia cepat- cepat menyeka air matanya.
“Hai. Oh, Kamu Vi, Kirain siapa.”
“Sherril, Kamu kapan sembuhnya? Aku udah kangen ama kamu. Seminggu ini aku duduk sendirian. Nggak ada temen ngobrol, Nggak bisa pindah lagi! Uhh...Sebel deh!” Cerocos Vika tanpa memberikan kesempatan Sherril untuk berbicara.
“Ya ampun, Satu-satu dong Vi, Bawelmu ini emang dari dulu nggak bisa sembuh ya!” canda Sherril yang ia gunakan untuk menutupi kesedihannya.
“He..He..He.. Abis, Kamu sih! Udah lamaaaa banget nggak masuk! Aku pengen curhat banyaak jadinya.”
“Curhat apaan sih? Ampe bikin kamu semangat banget kayak gini.”
“Yah apa lagi kalo bukan tentang Gilang. Kamu tahu nggak, Gilang itu akhir-akhir ini seringg banget ngasih aku kejutan, Yang tiba-tiba nongol di sekolah lah, Terus bawain bekal aku yang ketinggalan di rumah .......”
Sherril hanya bisa diam mendengar semua celotehan Vika sambil sesekali menampakkan ekspresi tertarik. Tapi, kalau boleh jujur, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Sherril menangis sekencang-kencangnya meratapi nasibnya.
Gilang, Gilang Putra Adhiyaksa. Nama itu yang setiap saat dipikirkan Sherril. Nama itu yang bisa membuat Sherril “menggila”, dalam artian ia dapat tertawa dan menangis karenanya. Nama itu pula yang selalu membuat Sherril berada dalam bayang-bayang kehancuran.
Gilang adalah yang dimaksud Luna agar Sherril jujur atas perasaanya dan mengakui bahwa sesungguhnya ia sangat menyayanginya. Gilang adalah lelaki yang membuat Sherril mau meluangkan waktu berjam-jam untuk mengikuti bimbel dan mencuri waktu (meskipun hanya sedetik) untuk melihat wajahnya.
Tapi, Gilang tak tahu bahwa Sherril menyayanginya. Ia justru meminta bantuan pada Sherril untuk bisa “jadian” dengan Vika, sahabat terdekat Sherril setelah Luna. Vikapun tidak tahu menahu mengenai perasaan Sherril pada Gilang. Malahan, Vika sering curhat segala sesuatu tentangnya dengan Gilang yang tidak seharusnya diketahui oleh Sherril.
“Bingung ya jadi kamu. Gini salah, Gitu salah, Sebenernya apa sih yang bener dari semua perbuatan kamu?” tanya Luna saat Sherril sudah kembali bersekolah
“Hmm... Nothing, Maybe.”
“Nothing?! Mana mungkin Sher? Pesimis banget kamu tuh jadi orang!”
“Ahh... Udahlah! Never mind! Ngapain juga, kamu nanyain gitu Na! Nggak penting tau! Ayukk ke kelas, udah mau bel nih!”
“Ayukk.”
Di kelas.
“Dalam pranata sosial, terdapat beberapa ciri-ciri, yaitu.......”
“Hst... Vik, Izin ke km yuk!” ajak Sherril.
“Ayukk!” Vika mengiyakan.
“Permisi, Bu, kami mau izin ke kamar mandi.”
“Oh..Iya silahkan.”
Di kamar mandi.
“Gilang apa kabar Vik?”
“Baek-baek aja tuh! Tumben kamu nanyain dia? Kangen ya?”
“Enggak! Cuma tanya aja.”
“Sher, Udah kan? Ayo!”
“Uhukk..Uhukk.. Vika.. Hhhh”
“Sherril kamu kenapa? Sher, Kamu bangun dong! Aduhh, Sherril kamu jangan bercanda dong! Pingsan kok di toilet! Nggak liat-liat sikon! Aku musti gimana nih! Eh, Tolongin dong!”
“Dia kenapa?” tanya salah satu anak yang menolong Sherril.
“Nggak tau! Tiba-tiba aja Sherril pingsan! Eh panggilin guru dong!”
“Luna, Aku nitip ini ya! Jangan dibuka bungkusnya! Kasihin ke Gilang ya!”
“Ini apa Sher?”
“Udah jangan banyak nanya! Kasihin aja ke Gilang! Cepet pulang sana gihh! Ntar dicariin mami kamu lagi!”
“Ngusir nih critanya?!”
“Loh?! Kenyataan kan. Siapa yang barusan telfon?! Mami kamu kan, nyuruh pulang kan?!”
“Tapi...”
“Udah, Nggak usah tapi-tapian! Pintunya ada di sebelah sana tuh!”
“Hei, Luna! Apa kabar kamu?” sapa Gilang.
“Baik-baik aja, Lang! Nungguin Vika ya?”
“Iya nih! Vika mana? Biasanya kan dia keluar sama kamu dan Sherril.”
“Sherril... Udah meninggal tiga hari yang lalu. Sirosis hatinya udah stadium lanjut, dia nggak tertolong lagi.”
“Sherril punya penyakit? Kenapa Vika nggak pernah cerita ya?”
“Mungkin Vika pikir kamu nggak perlu tahu kali. Oh iya, Ini ada titipan dari Sherril. Seminggu yang lalu dia ngasih ini ke aku.”
“Apa ini Lun?” belum sempat Gilang membuka, tiba-tiba Vika datang dan langsung menggandeng tangannya. Refleks, dia menyembunyikan bungkusan itu ke dalam tas pinggangnya.
“Gilang, Kamu udah nunggu! Kenapa nggak missed call aku sih?!”
“Aduhh, Lupa Vik, Abis keasyikan ngobrol ma Luna sih.”
“Ya udah yukk. Da Luna! Duluan ya.”
Di rumahnya, Gilang membuka bungkusan yang diberikan Luna. Ada sedikit rasa takut terbesit di benaknya.
“Hah... Diary? Buat apa Sherril nitipin ini?!”
Gilang mulai membuka halaman pertama diary tersebut. Ia lantas membacanya. Sampai pada halaman ke lima belas, Gilang tertegun melihat namanya tertulis di situ.
Dear diary,
Kamu nggak bakal percaya sama yang aku alamin. Aku udah bisa ngelupain Devon. Di tempat les, aku ketemu ama cowok cakep banget. Gilang Putra Adhiyaksa. Ya, itu namanya. Bagus kan?! Dia temen satu levelnya Marissa, adik kelasku. Aku tahu namanya dari Luna. Usut punya usut, ternyata Gilang mantannya Filia (kamu tahu kan).
Gilang itu udah cakep, good lucking, pinter, tajir lagi. Aku SUPER DUPER kesengsem sama dia. Nggak salah, kalo akhir-akhir ini aku hobi duduk di pojok n nungguin Gilang dateng sama kakaknya. Tapi cuman berani liat dari jauh aja sih, abiss... Tengsin!
Tapi aku nggak berharap banyak. Mana mau dia sama cewek penyakitan macem aku. Apalagi cewek yang ketahuan suka sama Gilang, musti disortir dulu sama kakaknya. Ngeri abis deh, soalnya kata Marissa, Mbak Liana (kakaknya Gilang) itu judessnya minta ampun.
Aku bingung diary! Kenapa ya, aku kayak gini. Apa mungkin aku mulai 'sayang' sama Gilang? Nggak... Nggak boleh! Pokoknya aku nggak boleh suka sama Gilang. Ayo dong Sherril! Nyadar! Kamu tuh ntar lagi koit! Jangan mimpi tinggi-tinggi deh! Ntar jatoh sakit loh!
Ternyata, Gilang tersentuh membaca halaman diary Sherril. Ia menitikkan air matanya. Baru saja ia belajar dari pengalaman orang lain. Bahwa tidak selamanya apa yang kita inginkan, harus menjadi kenyataan. Sama seperti perkataan “Cinta tak harus memiliki”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar