"Apabila kita takut akan sesuatu, maka, rasa takut kita melebihi apa yang kita takutkan sesungguhnya..."
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Mei 2012

Dilema Hati Rana


Annyeong yeorobuuun! *\(^O^)/*
Nadnov is back! Kali ini dengan cerpen Islami sebagai tugas agama yaitu Dakwah.
Semoga berkenan yaaa :D
Selamat membaca...

“Dengan berakhirnya penampilan dari Vidi Aldiano, maka berakhir pulalah acara Festival Musik SMA Mandala…”
“Saya Farhan, dan rekan saya…”
“Rana…”
“Mengucapkan pamit, dan… Sampai jumpa!” ucapku bersama Farhan dengan semangat mengakhiri acara sekolah yang kami bawakan.
Suara petasan yang diledakkan ke udara, mengiringi turunnya kami ke backstage.

Alhamdulillah ya, Na, acara kita sukses.”
“Iya, Han. Padahal waktu mulai tadi aku nervous banget, semua penonton pada ngelihatin kita. Takut salah ngomong.”
“Gitu tadi kamu bilang nervous? Kamu kelihatan profesional dan keren banget Rana! Two thumbs up for you.”
“Ah, gak perlu memuji aku deh. Ini juga berkat kerjasama kamu.” ujarku lantas tersenyum mengakhiri pembicaraanku dengan Farhan.

“Rana, ada yang mau ketemu sama kamu tuh.” Mbak Icha, ketua panitia festival musik ini menghampiriku.
“Siapa mbak?”
“Udah, lihat aja. Dijamin kamu gak bakal diapa – apain kok.”
Dengan sedikit ragu, aku berdiri bangkit dari kursi yang kududuki. Mengintip sejenak keluar ruang tunggu.
“Ayo, sini, orangnya ada di ruang itu.” Mbak Icha melambaikan tangannya dan menunjuk sebuah ruang yang terletak di samping ruang tungguku.
“Oh, iya mbak.”
Saat Mbak Icha membuka pintu, aku berdiri di belakangnya. Siapa tahu yang akan kutemui adalah orang yang akan mengevaluasi kegiatan presenterku sesaat lalu.

“Permisi, pak. Ini Rana, presenternya.”
“Oh, iya, makasih Icha. Silahkan duduk Rana.” aku tersenyum sekilas sambil berjalan ke tempat duduk yang dipersilahkan bapak tadi.
“Perkenalkan, saya Suryo, produser di agensi Bintang management.”
“…” aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Begini, Rana. Maksud saya memanggil kamu ke sini adalah, kami memberikan tawaran kepada kamu untuk mengikuti casting acara musik yang akan disiarkan di salah satu televisi swasta...”
“…” aku masih terdiam dan hanya mendengar perkataan pak Suryo.
“Jadi, kalau kamu lolos casting nanti, kamu akan menjadi co-host di acara tersebut. Sedangkan presenter utama di acara tersebut adalah artis- artis ibukota yang sudah terkenal, seperti Ruben Onsu dan Omesh… ”
“Tapi saya belum profesional, pak. Acara tadi aja cuma coba- coba dan tuntutan dari sie acara.” kuberanikan diri mengeluarkan suara.
“Gak papa. Nanti kalau Rana lolos casting, Rana akan mendapat kursus singkat dan seminar- seminar mengenai manajemen kepribadian dan soft- skill dalam dunia presenter.”
“Hmmm, apa tidak mengganggu jadwal sekolah nantinya?”
“Oh, tenang! Itu bisa diatur. Rana datang saja ke acara castingnya ya. Hari Minggu besok di Plaza Convex jam 9 pagi. Ini kartu nama saya, kalau ada perlu, di situ ada nomor yang bisa kamu hubungi.”
“Hmmm, terima kasih kalau begitu, pak. Nanti akan saya pikirkan lagi tawaran bapak.”
“Oke. Sampai jumpa Minggu besok ya Rana. Saya ada urusan lagi, harus pergi sekarang.”
“Oh, iya pak. Semoga urusannya lancar.”

Sesampainya di rumah, aku menceritakan hal tersebut kepada Mami dan Papiku.
“Mi, aku dapat tawaran casting jadi presenter lo.”
“Oh ya? Wow! Udah, ikut aja Rana. Lumayan loh, Na, setahu Mami, management itu dan stasiun televisi itu sering mengorbitkan artis- artis baru. Siapa tau kamu lagi beruntung.” Dukung Mami antusias.
“Tapi gimana sekolah Rana, Mi?”
“Ah, gampang, kamu nanti bisa homeschooling.” Papi menimpali.
“Minggu besok, Mami yang bakal antar kamu. Jadi banyak- banyak latihan ya, Mami gak mau ntar malu.”
“Iya deh.” mulutku mengiyakan, tapi tidak dengan hatiku.

Hari yang kami tunggu tiba. Mami sangat mengharapkan keberhasilanku. Kesempatan tidak datang dua kali, kata beliau.

“Rana, selamat. Kamu lolos casting. Minggu depan datang lagi ya untuk interview.” seorang perempuan yang nametagnya bertuliskan Indah, memberitakan itu setelah seluruh peserta, termasuk aku menjalani casting.
Mami memelukku senang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi aku senang, namun di sisi yang lain, aku merasakan keraguan.
“Oh iya, untuk pertemuan berikutnya, mbak harap kamu tidak menggunakan jilbab ya.” perkataan Mbak Indah bagaikan pukulan yang menghantam kepalaku.
“Lho, kenapa mbak? Tidak ada persyaratan yang mencantumkan itu kok. Kenapa tiba- tiba di tengah jalan ada peraturan seperti itu?”
“Hmmm, begini Rana. Kamu lihat kan, tadi di luar, peserta yang menggunakan jilbab hanya kamu. Mbak rasa, itu akan mempersulit kamu dan menjadi alasan kalau kamu gagal ke tahap setelah interview.”
“Sudahlah, Rana. Ikuti saja peraturannya, toh kamu sendiri gak rugi.” Mami berkilah.
Apa? Gak rugi? Apa maksud Mami? Aku terus membatin hingga perjalanan pulang ke rumah.

Aku tidak betah, aku harus menyelesaikan urusan ini sebelum terlalu jauh. Mana mungkin aku melepaskan jilbabku!

“Mami, Papi, Rana mau bicara.”
“Ada apa Rana? Gak biasanya anak Papi ini serius sekali.”
“Aku gak mau ikut tahap interview presenter itu.” ucapku tegas.
Why babe? It will give you many advantages and new experiences!” Mami membuka suara.
“Keuntungan? Mudharat itu Mi, Pi! Aku gak mau kalau aku harus lepas jilbab aku.”
“Ya, ampun. Kamu masih muda Rana! Berjilbab bisa kapan aja. Kamu belum naik haji kan?” Papi menyambung.
“Sejak kapan pikiran Mami sama Papi jadi sesempit ini? Sejak kapan Mami sama Papi membatas kemauan Rana? Kenapa Mami sama Papi menyimpangkan ajaran Rasulullah!”
“Kamu kok jadi sok tau gitu sih, Na. Mami sudah sering bilang kan, kamu gak usah bergaul sama anak- anak remas itu! Jadi seperti ini kan, kamu!”
“Mami! Jangan sebut mereka remas, mereka temen- temen Rana anak ekskul Rohis. Mereka bahkan lebih tahu masalah agama daripada Mami dan Papi. ”
“Islam gak mengajarkan kamu buat membantah orang tua, kan?”
“Tapi Mami dan Papi justru menjerumuskan aku ke kemudharatan dan kemaksiatan.”

Aku pergi, mengadu, pada Allah, Tuhanku yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Ya Allah ya Rabb, Bukalah mata hati dan pikiran kedua orang tua hamba. Buktikanlah bahwa keputusan yang mereka ambil adalah salah. Dan tunjukkanlah pada mereka, berikanlah pada mereka kemudahan untuk membedakan yang bathil dan haqq. Ampunilah dosa kedua orang tuaku ya Allah… Allahummaghfirli waliiwaalidayya warhamhuma kama rabbayyanii shaghiiraa…

diilhami dari Q.S. Al Ahzaab  : 59



Rabu, 20 April 2011

Kepergianmu (Cerpen B.Ind oleh saya dan Bida)



“Makasih ya udah dianterin buat ke sekian kalinya…” ujar Najwa sambil tertawa polos.
“Iya, gapapa. Hati- hati ya nyebrangnya.” sahut Arial sambil menoleh ke arah Najwa.
“Iya, maaf ngerepotin loh ya…”
No problem, girl! Duluan yaa!”
Arial berpamitan kepada Najwa seraya memacu motornya untuk kembali ke rumahnya. Najwa masih berdiri terdiam di tempat Arial menurunkannya tadi. Jalanan malam ini sangat ramai. Najwapun harus berhenti sejenak di tepi sebelum menyeberang jalan menuju rumahnya.

Kuiiringi langkahmu, Sampai ke akhir jalan…
Sungguh berat terasa, Menyadari semua…

Jam di dinding menunjukkan pukul 22.30 WIB, Najwa belum tidur karena masih ada tugas  yang harus ia selesaikan.
“Sayang, sudah larut malam. Kamu kok belum tidur?” tanya Ayah Najwa sampai membuatnya berjingkat.
“Hah? Oh, ini Yah, Masih ada tugas buat besok. Tinggal dikit kok Yah.” sahut Najwa dengan sedikit panik.
“Oh, ya sudah kalo gitu. Ayah tidur duluan ya sayang. Selamat malam.”
Kalimat terakhir Ayahnya  tak ia hiraukan. Najwa kembali berkutat dengan setumpuk tugas fisika yang jumlahnya mencapai 10 lembar. Najwa sedikit memaksakan diri.

* * *

Inalillahi wa inailaihi roji’un. Telah meninggal salah seorang siswa dari kelas XI IA 2 yang bernama Arial Surya Hutama pada pukul 02.00 WIB dini hari kemarin. Mari kita tundukkan kepala sejenak untuk berdoa. Semoga arwah ananda Arial diterima di sisi Allah SWT…”
Begitu suara yang Najwa dengar dari interkom kelas. Ia terduduk lesu dengan pandangan kosong. Arial meninggal dunia! Orang yang kemarin baru saja memboncengnya pulang! Teman- temannya yang lain pun demikian, saling berpelukan dan menangis. Mereka sangat shock mendengar berita tersebut.
Merekapun bertakziah ke rumah Arial. Benar saja, di depan kompleks perumahan Arial telah terpampang berderet- deret rangkaian bunga ucapan belasungkawa dari rekan kerja dan kolega Papa Arial. Papa Arial adalah salah seorang pejabat bank daerah di kota mereka. Jadi tak aneh jika puluhan rangkaian bunga itu menyesaki jalanan itu.
Najwa meneteskan air mata saat melihat wajah Arial yang putih pucat itu. Najwa benar- benar tak menyangka akan hal ini. Oca sahabatnya, spontan memeluknya dan mendudukkannya melihat ia goyah seperti itu.

Di saat terakhirku, Menatap wajah itu…
Terpejam kedua mata, Dan terbang selamanya…

* * *

“Najwa! Bangun, sayang! Ini sudah jam setengah enam!” suara Ayah Najwa terdengar membahana di hadapan Najwa. Ia pun sejenak membuka mata dan mengucek- uceknya.
“Najwa, kamu mau telat ke sekolah? Lihat ini sudah jam berapa!” kata Ayah Najwa sambil menyodorkan jam beker ke depan muka Najwa.
Astagfirullah hal adzim! Aku ketiduran, tugasku belum selesai! Gimana iniiiiii!” Najwa berteriak seperti orang kebakaran jenggot.
Sekolah akan dimulai satu jam lagi. Sedangkan, ia baru saja terbangun dan belum menyiapkan apapun. Bahkan belum mandi!
Najwa bergegas menyambar handuk dan seragam sekolahnya kemudian berlari ke kamar mandi tanpa mendengarkan ‘ceramah pagi’ Ayahnya. Tak sampai 10 menit, iapun telah berganti pakaian dan bersih. Setelah meletakkan handuk ke jemuran di balkon kamar, Najwa mematut dirinya di cermin sambil mengenakan sabuk. Tak lupa, ia menyemprotkan parfum sebanyak yang bisa keluar dari botol itu.
Dengan tergesa- gesa, Najwa menyiapkan buku pelajarannya dan tugas fisika (meski belum selesai) yang sudah susah payah ia kerjakan. Dengan tergopoh- gopoh ia menuruni tangga. Sampai di meja makan, ia menyambar roti tawar dan mengoleskan selai kacang di atasnya. Najwa duduk sejenak untuk mengunyahnya dan minum segelas susu yang memang dibuatkan untuknya.
“Bik, aku bekalnya double porsi ya. Aku gak sempat makan banyak nih, Bik.”
“Iya, Non…” sahut Bik Inah dari balik dapur.
“Habisin dulu susunya, sayang. Biar perutmu gak kosong.” kata Ibu Najwa dengan bijaksana.
Klakson mobil antar jemput Najwa telah terdengar. Ia mengambil kotak makannya yang baru saja disiapkan bibi. Ia pun berpamitan pada Ayah dan Ibunya sebelum meninggalkan rumah.

* * *

“Pagi Najwa! Tumben banget pagi- pagi udah makan?” suara laki- laki berhasil mengacaukan konsentrasi makan Najwa. Sendok yang ia pegang pun terjatuh.
“Aduh! Bikin kaget aja sih! Usil banget pake megang pundak dari belakang pula!” Najwa memaki laki- laki tadi.
Najwa mengernyitkan dahi keheranan. Bertanya- tanya dalam batinnya.
Arial? Masih hidup? Berartiii… Semalem itu cuma mimpi dong!
Najwapun menafsirkan apa yang ia lihat saat itu berarti mimpi belaka. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat bersyukur karena masih bisa melihat wajah tampan Arial lagi. Fiuuhhh… Alhamdulillah.
“Eh, Arial ternyata! Iya niih, aku tadi bangun kesiangan, jadi gak sempet sarapan deh.” sahut Najwa dengan semangat, rasa kesalnya telah terabaikan.
“Ooohhh… Ini apa pula? Buku fisika berantakan di mana- mana. Cewek kok jorok banget sih kamu Naj!” Arial keheranan melihat bangku Najwa yang penuh dengan kertas- kertas dan buku berisi soal- soal fisika yang belum ia selesaikan semalam.
“Hehehe, aku belum ngerjain tugas fisika, Rial. Mau ngajarin aku nggak? Aku gak tau rumusnya nih.” Najwa tertawa datar menjawab teguran Arial, sekaligus meminta bantuan Arial untuk menyelesaikan tugasnya.
“Yang mana yang gak bisa? Aku bantuin deh, mumpung lagi nganggur.” jawab Arial yang membuat hati Najwa berbunga dan semakin bersemangat.
“ Yeeee! Makasih Arial! Ini nih. Nomer 3 yang romawi II, pake cara yang mana?”
“ Oh, ini… Ini caranya…………” suara Arial semakin samar. Tak sadar, Najwa kini memandangi wajah Arial lekat- lekat.
Bunyi ringtone handphone membuyarkan lamunan Najwa. Ternyata, itu bunyi nada sms dari hp Arial. Najwa berpura- pura memperhatikan kertas berisi coretan rumus- rumus Arial. Secara tidak langsung, Najwa telah menyuruh Arial mengerjakan sendiri tugasnya.
“ Aduuh, maaf banget ya Naj, Aku dapet sms buat rapat OSIS nih Naj…”
“ Yaaah, Arial” Najwa memasang muka cemberut mendengar berita tersebut.
“ Sabar yah! Daaa Najwa…” sebelum Arial berlalu meninggalkan Najwa, ia spontan mengacak- acak rambut Najwa. Perlakuan tersebut membuat Najwa merasa diistimewakan oleh Arial.

Inginku mengejar dirimu, Menggenggam erat tanganmu…
Sungguhku tak rela…

* * *

“ Oca, aku pengen cerita nih…” ujar Najwa pada Oca saat mereka makan bersama di kantin.
“ Cerita aja, aku dengerin kok.”
“ Belakangan ini aku ngerasa ada yang aneh sama perasaanku ke Arial… Gak tau kenapa.”
Oca tersedak, ia segera memegang gelas es jeruk di hadapannya dan langsung meneguknya.
“ Uhuk… Uhuuuk… Jangan bilang kamu suka sama dia?!” nafas Oca masih tersengal- sengal.
“ Aku gak bisa bilang enggak, Ca…”
What?! Setelah apa yang kamu perbuat selama ini? Setelah Arial dan Nia jadian karena kamu comblangin?”
“ Aku gak tau Ocaaaa… Aku masih bingung sama perasaanku sendiri!”
“ Najwa, inget! Nia itu sahabat kamu sendiri! Kamu udah susah payah meyakinkan dia untuk nerima Arial. Kalo kamu ngomong hal ini secara langsung ke dia, apa kamu yakin Nia gak akan nelangsa?”
Najwa hanya terdiam, mendengarkan komentar Oca, yang ia kenal lebih berpengalaman dalam hal cinta.
“ Nia udah menghargai kamu dengan belajar mencintai Arial apa adanya. Apa kamu gak akan merasa bersalah menghancurkan harapan yang sekarang mereka rajut?”
“ Aku gak bermaksud seperti itu, Oca!” aku membela diri.
Hey girls! Pada makan gak ngajak- ngajak nih…” Najwa dan Oca dikejutkan oleh sapaan Arial. Pembicaraan mereka otomatis terhenti.
“ Arial ini hobi bikin orang jantungan deh! Huh! Cuppikk!” ujar Oca sekenanya.
“ Iya nih…” sahut Najwa lesu.
Rupanya Arial menyadari perubahan sikap Najwa padanya. Arial penasaran kenapa Najwa bisa menjadi demikian.
“ Najwa kenapa? Kok belakangan ini kamu kelihatan sering galau ya?”
“ Ahh… Gak kok, Rial. Sok tau deh kamu!” Najwa berusaha mengelak.
“ Alaaah… Gak usah bohong! Kamu jadi sering dengerin lagu- lagu mellow kan? Kamu kan pernah bilang, kalo salah satu tanda orang galau itu suka dengerin soundtrack patah hati gituu…” Arial berhasil men-skak mat Najwa.
“ Gak papaaa Ariaaaal… Aku Cuma pengen bermelankolis ria doang kok. Tenang aja.”
“ Oke, aku ngalah. Tapi jangan lupa cerita ya kalo ada yang ngganjel. Kita bertiga ini temen deket, gak usah ada rahasia- rahasiaan. Kalo ada salah satu sedih, pasti yang lain ikutan sedih. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” jelas Arial panjang lebar lantas tersenyum.
Senyum itu… Senyum yang meluluhkan dinding pertahanan hati Najwa. Meskipun ia telah memahat tebing curam untuk membatasi dirinya dan Arial. Senyum yang membuat Najwa bisa melupakan orang terdahulu yang membuatnya sakit dan rapuh. Senyum yang menguatkan Najwa saat ia sedang tak bersemangat, tak bisa memegang kendali.
“ Duluan ya Naj, Ca!”
“ Mau ke mana, Rial?” tanya Oca
“ Mau njemput Nia nih. Dia minta ditemenin beli kado buat temennya yang ulang tahun. Bye!” Arial berdiri, menyandang tas ranselnya, dan berjalan menjauhi mereka.
“ Daaa… Hati- hati di jalan ya, Rial!” ucap Najwa dan Oca hampir bersamaan.
“ Tenang, Naj! Arial masih menghargai kamu kok. Buktinya dia turut sedih kalo kamu galau. Sabar ya! Nangisnya entar malem aja, Kalo mau tidur…” Oca membesarkan hati Najwa.

Kutahu kau tak tersenyum, Melihatku menangis…
Maka sekuat tenagaku, Kurelakan saat kepergianmu…

* * *

Sampai pada sore itu, Najwa menemani Arial dan Nia di kedai es krim ternama. Mereka mengobrolkan apa saja, tentang bagaimana Arial begitu suka dengan Nia dan Nia yang akhirnya mengenal Arial. Tapi seonggok rasa aneh itu menyergap Najwa tanpa ampun, memaksa matanya untuk bereaksi tidak wajar. Najwa tidak paham kenapa ia berkaca-kaca.
"Arial, Nia, aku ke belakang dulu ya. Enjoy your time."
Najwa buru-buru beranjak dari tempat duduknya dan tanpa menoleh lagi ia menutupi mukanya, menahan buncahan air mata yang tak tahu diri itu. Sesampainya ia di kamar mandi, Najwa menatap kaca. Ia sendirian. Najwa melihat dirinya, ia benci. Kenapa aku menangis? Tanya Najwa dalam hati. Pertanyaan itu justru memancing air matanya keluar lebih banyak lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Namun tetap hening. Najwa tidak ingin tangisnya didengar siapapun. Setelah puas menangis, ia keluar dari kamar mandi dan bergegas mengambil tasnya di kursi tempatnya tadi.
"Eh, aku les dulu ya. Got to go, have fun you two!"
"Lho, Najwa, kok buru-buru? Lesmu kan jam 6?" tanya Nia.
"Iya nih, ayo habisin dulu es krimmu!" kata Arial.
"Umm, nope, I'm full. Lagipula aku belum ngerjain PR buat les nanti, hehe. See you guys!" tutup Najwa tanpa memberi celah Arial dan Nia untuk mencegahnya pergi lagi.

***

Sekeluarnya dari kedai itu, Najwa menangis. Ia bersembunyi di balik pohon besar yang rindang, menyembunyikannya dari siapapun. Langit sudah mulai gelap. Najwa berjongkok seperti anak kecil dan menutupi mukanya, menangis sejadi-jadinya. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan hari ini, Najwa tidak tahu. Berapa banyak air mata yang ia keluarkan hari ini hanya untuk menyadari bahwa sebenarnya Najwa menyayangi Arial sepenuh hati, tanpa pamrih...
Najwa tidak tahu. Ngilu.

Takkan pernah, kulupakan dirimu…
Takkan sanggup, kurelakan semua…

***

 Arial tidak tahu apa yang dirasakan oleh Najwa. Arial bersama Nia hanya karena ia tidak ingin melukai dan mempersulit Najwa, karena ia tahu Najwa sangat menyayangi sahabatnya itu. Arial tidak ingin merusak persahabatan mereka. Lagipula Arial masih ingat sms terakhir Najwa untuknya yang tak sanggup ia balas :
Arial,
Aku berharap kamu bisa membahagiakannya.
Menjadi yang terbaik untuknya.
Bercandalah dengannya, bagi ceritamu dengannya seperti yang kamu lakukan padaku.
Perlakukan ia layaknya putri raja.
Jika kamu menyakiti hatinya, aku akan merusak wajahmu. Haha :P


Jumat, 25 Maret 2011

Buah Kemunafikan Lala

Siang itu cuaca di sekelilingku terasa panas. Sepanas suasana hatiku saat mendengar cerita Erika.
“ Gimana Er waktu di mallnya? Mereka ngapain aja?” tanyaku melanjutkan pembicaraan dengannya.
“ Yah nonton, Dibeli’in minum… Cuma gitu- gitu aja kok Val, Gak ada yang di luar batas kewajaran.”
“ Bagimu sih biasa, Tapi bagiku kan beda Er… Trus nonton apa aja?”
“ Pertamanya sih nonton film horror gitu, Trus kan aku sama Amel gak boleh lama- lama, Jadinya ya kita pulang duluan. Katanya Lala sih, Mereka nonton lagi sampe sore, Trus Lalanya dianterin Timmy pulang ke rumah.”
“ Dianterin pulang? Cuma berdua? Naik motornya Timmy?” rasa penasaranku terus memberondong Erika.
“ Iya…”
“Udahlah Val, Gak usah dipikirin si munafik itu!” sahut Mela yang sedari tadi mendengarkan pembicaraanku dengan Erika.

* * *

Memang, kini mereka telah memaafkan Lala. Tapi mungkin, suatu saat nanti, saat mereka telah lupa apa yang dijanjikan Lala, ia akan mengulangi kesalahan yang sama untuk ke sekian kalinya. Tanpa jera, tanpa lelah, dan tanpa dosa.
Aku teringat beberapa waktu yang lalu. Saat aku merasa di atas angin dan menguasai segalanya. Saat mereka bermusuhan dengan Lala.

“ Kamu tahu Val, Penyebab semua permasalahan di ‘8serangkai’ itu ya dia…”
“ Kamu tahu kan sekarang gimana liciknya dia?” tanyaku meyakinkan Arra.
“ Iya… Pantes kamu nyalahin dia, Bukan Timmy.”
“ Timmy gak sepenuhnya salah, Ra! Kalo Lala gak pernah ngasih harapan, Mana mungkin Timmy ngejar- ngejar dia kayak gitu?”
“ Iya yah… Kalo dipikir- pikir kamu bener juga Val.”
“ Nyesel kan kamu ada di kubu dia dan bela dia habis- habisan waktu musuhan sama aku?”
“ Aku gak bela dia Valerine! Oke, Emang, Aku yang ngasih nomer hp-nya Lala ke Timmy. Tapi, Aku gak pernah sekalipun nunjukkin kalo aku setuju mereka jadian!”
“ Ya udah… Terserahmu.” kataku mengakhiri perdebatan dengan Arra.

* * *

Ternyata, banyak rahasia yang mereka sembunyikan dariku. Mungkin, saat itu bukan waktu yang tepat untukku mengetahui segalanya. Maka dari itu, tak ada yang berani mengungkap seluruh kemunafikan Lala padaku. Tapi, saat aku mengetahui segalanya, rasa benciku pada Lala semakin menjadi- jadi dan diambang batas toleransi.
“ Hah?! Kamu masuk BK? Kenapa?” tanyaku suatu ketika.
“ Bukan cuma aku doang Val, Tapi juga Mela dan Kanya. Gara- gara tuh anak sialan yang namanya Lala.” Jawab Arra penuh rasa dendam.
“ Trus, Trus…”
“ Pertamanya sih Bu Desi nggak nyinggung masalahnya Lala, Cuma nanya- nanya shalatku gimana, Ada masalah gak ama pelajaran dan temen- temen. Tapi, Emang dasarnya feelingku udah gak enak, Eh, Ternyata…”
“ Ntar dulu, Dari mana Bu Desi tahu masalah kamu? Dia bisa baca pikiran kamu?” ada sesuatu yang tidak kumengerti pada pembicaraan Arra.
“ Yah gak lah dodol! Lala itu ngadu! Dasar anak cemen, Pecundang!” Arra memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.
“ Ngadu? Maksud kamu?” aku agak bingung dengan pernyataan Arra.
“ Ngadu, Valeriiiiine… Dia itu bilang kalo dia dimusuhin sama ‘8 serangkai’ dan minta bantuan Bu Desi buat nyari tau kenapa kita musuhin diaaa…”
“ Padahal dia sendiri kan yang salah sampe kalian musuhin dia.”
“ Iya! ‘Tul banget… Dia sendiri yang minta dijauhin sama Timmy, Eh, Dia juga yang mau diajak Timmy jalan…”
“ Jadinya kalian ‘dengan sangat terpaksa’ maafin dia? Kalian percaya dia gak bakal ngulangin kesalahnnya lagi?”
“ Iya… BANGETT!  Emm… Gimana ya? Percaya sih iya… Soalnya kita juga       udah terlanjur janji ke Bu Desi sih… Jadi, Mau gak mau kita nyerahin semuanya di atas perjanjian itu. ”
“ Ohh… Udah ya Ra, Aku ngantuk banget nih… Hoahhhem”
“ Ya udah deh… Daa Val…”
* * *
Handphoneku yang sedari tadi kugenggam bergetar, ada Nessa, sahabatku, di ujung sana.

“ Val! Jalan yukk! Boring nih di rumah…” ajak Nessa.
“ Ayukk… Aku juga lagi bosen nih di rumah.”
“ Stengah jam lagi aku jemput ya?”
“Yee… Asyik! Ngirit ongkos taksi… Bye Nessa.”

Sesampainya di mall…

“ Eh, Val! Itu bukannya Lala ya?”
“ Yang mana sih? Kamu salah liat barangkali.” ujarku tak percaya.
“ Itu tuh! Di pojok, Yang ada orang pake cardigan item abu- abu itu loh! Eh, Ntar, Bukannya itu Timmy ya? Lagi ngapain mereka di sini?”
“ Iya… Ih… Iya, Beneran  Nes, Itu Timmy sama Lala.”
“ Ayo, Val! Cari tempat duduk yang akses ngeliat ke mereka gampang!” ajak Nessa membuat ide usil Valerine tercetus.
“ Aha! Aku punya ide Nes! Ini bakalan jadi ‘the hottest news of the year’! Dan menggemparkan sekolah kita besok pagi!”
“ Hahahaha…” tawa kami meledak, seakan kami saling mengetahui apa yang sedang kami pikirkan masing- masing.
“ Val, Duduk di situ aja yukk!”
“ Ayo! Cepetan! Selagi mereka belum pergi.”
“ Ini... Nih, Kameranya.”

Dengan bukti 12 lembar foto, aku dan Nessa akan membuat segalanya berubah, termasuk ‘8serangkai’ yang telah menerima Lala kembali. Kini, mereka akan tahu betapa munafiknya seorang ‘Lala Azatania’ . Dan membuat kepercayaan ‘8serangkai’ takkan kembali selamanya.
“ Beress! Sipp nih Val!”
“ Harus dong! Siapa dulu detektifnya! Valerine Evananda!”
“ Eitss… Ada yang ketinggalan! Nessa Anggrania juga dong!”
“ Hahahaha… PEMBALASAN LEBIH KEJAM!” ujar Valerine sambil mengajak Nessa berlalu meninggalkan Timmy dan Lala yang masih asyik ngobrol tanpa memperdulikan apa yang sebentar lagi akan mereka rasakan… PEMBALASAN !

Arra, Tmenku yg plg malang.. Upss, sorry..
Abis, Kmunya sih.. Mau aja dibo’ongin ama Lala..
Asal kmu tau ya, tdi siang itu aku liat Lala ama Timmy jlan!
Berdua doang! Ngingkarin perjanjian antara kalian n Bu Desi..
Aku gak bo’ong.. Lagipula buat apa aku buang2 uangku utk cetak
12 lembar foto bukti ‘kemesraan’ Lala n Timmy..
Sorry, Kalimatku mgkin bkin kmu emosi, Tpi ini KENYATAAN!

From : Valerine
085850550558
Sunday, Nov, 22nd , 2009
08:50 p.m.

Keesokan harinya…

“ Eh, Misi- misi, Yang udah liat gantian ya sama yang lain! Masih banyak yang ngantri nih!” kata Valerine sambil memamerkan hasil karyanya.
“ Ada apa ya Ar, Kok rame banget di koridor?” tanya Lala yang belum mengetahui apa yang telah terjadi.
“ Tauk! Kamu tanya aku! Orang akunya dateng bareng kamu juga!” jawab Arra sinis.
“ Eh, Aku makin penasaran nih! Orang- orang kok pada liatin aku kayak gitu sih?”
“ Liat aja sendiri!” ujar Arra sambil mengajak Lala mendekati mading sekolah.
“ Eh, Peran utamanya udah dateng nih Val!” sapa Nessa sambil menaikkan nada suaranya.
“ Wow! Artisnya udah dateng nih! Bagi yang mau minta tanda tangan atau bahkan ngelemparin tomat ke mukanya dia dipersilahkan!” kata Valerine seraya menarik Lala mendekat ke ‘display hasil karya’nya.
“ Apa- apaan ini Val?! Maksud kamu apa?”
“ Oh… Kamu ngerasa dipermalukan ya?! Berarti kamu beneran ‘berperan’ dong dalam foto- foto itu?!”
“ Kamu emang… Emang… Huh!” Lala mengacungkan jarinya, ia terlihat mulai naik darah.
“ Eits… Yang sebenernya licik dan munafik kan kamu La, Bukan aku! Kamu kan yang nyembunyiin hubungan kamu sama Timmy ke temen- temen kamu?! Dan… Ini saatnya aku membuka mata mereka yang selama ini kamu buramkan dengan kemunafikanmu!”
“ Valerine…” Lala mulai sesak dan memegang dadanya.
“ Inget ya, La! Sepandai- pandai tupai meloncat, dia pasti bakalan jatoh! Seperti kamu! Gak selamanya kamu ada di atas, Menang! Ini saatnya kamu kalah, Itu buah dari kemunafikan kamu!” ucap Valerine yang diiringi masuknya Lala ke ruang BK…