"Apabila kita takut akan sesuatu, maka, rasa takut kita melebihi apa yang kita takutkan sesungguhnya..."

Kamis, 18 Agustus 2011

Awal Sebuah Keputus asaan

Maaf ya, lagi galau. Bawaannya pengen curhat aja. Dan sulit banget mengendalikan temper.

Kalau orang lain berpendapat bahwa mindsetku absurd atau cenderung nggak objektif menilai sesuatu, aku punya alasan sendiri untuk menyangkal. Setiap orang pasti memiliki perbedaan dibanding lainnya. Mereka juga pasti punya alasan mengapa memilih untuk menapaki perbedaan itu.

Berawal dari kelas X, dalam suatu organisasi -maaf, semua merk disensor pada artikel ini- aku dipercaya sebagai anggota dari salah satu divisi yang sebenarnya nggak aku kehendaki. Jauh! Melenceng dari ekspektasiku yang tadinya akan menemukan orang- orang baru di mana aku bisa berbagi ilmu dan bisa membimbingku.

Tapi ternyata? Kenyataanya berbalik 180 derajat! Aku satu- satunya anggota yang saat itu masih kelas X di divisi itu. Nggak punya teman, dan nggak kenal akrab dengan anggota lain. Mau bicara sama siapa coba?

Akhirnya ya pasrah. Mencoba jalani dengan ikhlas. Tapi rencana itu seperti debu, yang berhamburan seketika ditiup. Kepercayaanku mulai luntur. Aku merasa berada pada tempat yang salah. Sejak saat itu aku berpikir, betapa mudahnya mereka aku kelabui dengan kemampuan bicaraku yang masih cetek ini...

Begitu juga dengan organisasi satunya. Menjadi 'kaum marjinal' dia antara mereka yang 'berkuasa' itu berasa seperti kerbau dicocok hidung! Alih- alih pemimpin, tapi nyatanya? Pemimpin adalah pelayan. Daaaaan... Pelayan sekali ya memang. Tapi masih merasa dihargai sih, lambat laun aku sedikit bisa menyetir mereka yang useless itu.

Masalah hati? Oh, jangan ditanya! Sudah muak merasa dipandang sebelah mata oleh dia yang aku kagumi. Dan terulang kembali dengan orang yang beda. Parahnya, kasus baru ini mengalami komplikasi yang lebih fatal. Berusaha mengabaikan? Wah, sering sekali! Hasilnya? NIHIL!

Masalah pelajaran? Mulai dari kelas X aku sudah teramat sangat keteteran di sana sini. Sudah kapasitas otak pas- pasan, pealajaran susah, gurunya njengkelin pula. Lengkap sudah penderitaan ini...

Dan di saat aku mencoba untuk bangkit, menyetarakan kedudukan dengan mereka yang bermulut manis tapi nggak pernah mau tahu usaha orang kecil, keberuntungan dan kesempatan gak pernah berpihak padaku. Naas. Kenapa nggak sekalian tewas aja ya kayak yang di berita- berita? Ha ha ha *tertawa miris*

Aku mulai jenuh dengan nasib, dan betapa keberpihakan dunia pada orang yang aku sebutkan di atas. Muak! Mendangkalkan sungai nurani, dan menggerus dinding keikhlasan! Kalau seperti ini terus, apa gunanya pergi dari zona nyaman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar